Mengenai Customer Due Dilligence dan bagaimana bank melaksanakannya, Mengenai konsekwensi jika nasabah tidak memberikan informasi yang benar pada saat membuka rekening, dan Bagaimana peranan bank dalam mencegah serta memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme ?

TULISAN INI DIBUAT TANGGAL : 27 Oktober 2010

Image

1.  Yang dimaksud dengan Customer Due Dilligence dan bagaimana bank melaksanakannya?

Menurut Pasal 1 butir ke-7 PBI No. 11/28/PBI/2009 tentang Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum, Customer Due Dilligence adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil Nasabah.

CDD diterapkan oleh bank kepada calon nasabah atau dalam hal ini terhadap transaksi yang patut dicurigai sebagai bentuk pencucian uang atau pendanaan terorisme. Menurut Pasal 22 ayat (1) PBI No. 11/28/PBI/2009, mengenai CDD harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1)      Tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran gaji;

2)      Nasabah berupa perusahaan publik yang tunduk pada peraturan tentang kewajiban untuk mengungkapkan kinerjanya;

3)      Nasabah berupa Lembaga Negara atau Pemerintah; atau

4)      Transaksi pencairan cek yang dilakukan oleh Walk in Customer[1] perusahaan.

Apabila suatu calon Nasabah WIC memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1)      tergolong berisiko tinggi atau Politically Exposed Person[2];

2)      menggunakan produk perbankan yang berisiko tinggi untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan teroris;

3)      melakukan transaksi dengan negara berisiko tinggi; atau

4)      melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil.

Maka terhadap calon nasabah tersebut, Bank wajib melakukan prosedur CDD yang lebih mendalam, dikenal dengan Enhanced Due Dilligence[3] atau EDD (dalam hal ini EDD merupakan tindakan pemantauan terhadap transaksi yang dilakukan oleh nasabah). CDD sebagai salah satu instrumen utama dalam program Anti Pencucian Uang atau APU dan Pencegahan Pendanaan Terorisme atau PPT, merupakan bagian dari penerapan manajemen resiko bank secara keseluruhan.

CDD diharapkan dapat melindungi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya dari berbagai resiko. Resiko-resiko tersebut antara lain risiko operasional, risiko hukum, dan risiko reputasi serta mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana atau sasaran tindak pidana, khususnya pencucian uang dan pendanaan terorisme. Penerapan CDD didasarkan pada prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking).

Pasal 9 PBI Nomor 11/28/PBI/2009 menyatakan bhawa pelaksanaan prosedur CDD oleh bank dilakukan pada saat:

1)      melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah;

2)      melakukan hubungan usaha dengan WIC;

3)      Bank meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh Nasabah, penerima kuasa, dan / atau Beneficial Owner[4] ; atau

4)      terdapat transaksi keuangan yang tidak wajar yang terkait dengan pencucian uang dan / atau pendanaan terorisme.

Pada intinya pelaksanaan CDD oleh Bank meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut:

1)      Identifikasi dan Klasifikasi Calon Nasabah atau Nasabah

Menurut Pasal 12 PBI Nomor 11/28/PBI/2009, dalam tahapan ini Bank melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap calon Nasabah atau Nasabah ke dalam kelompok perseorangan, perusahaan, atau Beneficial Owner. Merujuk kepada ketentuan Pasal 18 ayat (2) PBI Nomor 11/28/PBI/2009, Apabila diketahui bahwa calon Nasabah atau WIC mewakili Beneficial Owner membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, maka Bank wajib melakukan prosedur CDD terhadap Beneficial Owner yang sama ketatnya dengan prosedur CDD bagi calon Nasabah atau WIC. Dalam tahapan ini juga dilakukan pengelompokkan calon Nasabah atau WIC berdasarkan tingkat risikonya dengan berpedoman pada ketentuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

2)      Permintaan Informasi

Ketentuan Pasal 11 ayat (1) PBI Nomor 11/28/PBI/2009, mengatur bahwa bank sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, wajib meminta informasi yang memungkinkan bank untuk dapat mengetahui profil atau data calon Nasabah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 17 ayat (1) PBI Nomor 11/28/PBI/2009. Selain itu, seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (2) PBI Nomor 11/28/PBI/2009, suatu bank sebelum melakukan transaksi dengan WIC perlu memperhatikan pengaturan mengenai informasi yang wajib dimintakan oleh bank.

3)      Permintaan Dokumen

Dalam tahapan permintaan dokumen, Bank diwajibkan untuk meminta dokumen pendukung dengan berdasarkan ketentuan yang diatur didalam Pasal 14, Pasal 15 ayat (1) dan (2), Pasal 16 ayat (2) huruf a dan b, Pasal 17 ayat (2), dan Pasal 19 ayat (1) huruf a dan b ayat serta Pasal 19 ayat (2) dan (3) PBI Nomor 11/28/PBI/2009.

4)      Verifikasi Dokumen

Berdasarkan Pasal 21 PBI Nomor 11/28/PBI/2009, mengenai informasi yang disampaikan oleh calon Nasabah atau nasabah atau WIC beserta dokumen pendukungnya wajib diteliti kebenarannya oleh bank. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara verifikasi terhadap dokumen pendukung tersebut berdasarkan dokumen atau sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya, sehingga dapat dipastikan bahwa data tersebut adalah data terkini atau data yang benar.

Sebagai bentuk verifikasi terhadap data tersebut, maka bank dapat melakukan wawancara dengan calon Nasabah. Apabila terdapat keraguan mengenai data tersebut, maka bank dapat (dalam hal ini wajib) meminta kepada calon Nasabah untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan kebenaran identitas calon Nasabah.

Sebelum bank membina hubungan usaha atau melakukan transaksi dengan calon nasabah atau WIC, proses verifikasi identitas calon Nasabah dan Beneficial Owner wajib diselesaikan terlebih dahulu. Namun, dalam kondisi tertentu tidak menutup kemungkinan bahwa Bank dapat melakukan hubungan usaha sebelum proses verifikasi selesai.

5)      Pengkinian dan Pemantauan

Berdasarkan Pasal 27, 28, 29, dan 30 PBI Nomor 11/28/PBI/2009, Bank wajib melakukan pengkinian dan pemantauan terhadap informasi dan dokumen Nasabah. Proses pengkinian dan pemantauan bertujuan agar dapat dilakukannya identifikasi mengenai kesesuaian antara transaksi nasabah dengan profil nasabah. Proses ini sebagai bentuk upaya untuk mendeteksi setiap kegiatan yang mengarah kepada pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Dalam tahapan pengkinian data meliputi antara lain; kewajiban pemantauan terhadap informasi dan dokumen Nasabah, penyusunan laporan rencana pengkinian data dan penyusunan laporan realisasi pengkinian data. Mengenai laporan rencana pengkinian data dan laporan realisasi pengkinian data, haruslah wajib mendapatkan persetujuan dari Direksi.

Dalam tahapan kegiatan pemantauan, bank diwajibkan untuk menganalisa terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah. Dalam hal ini, bank dapat meminta informasi mengenai latar belakang dan tujuan transaksi tersebut. Kegiatan itu dilakukan dengan memperhatikan ketentuan anti tipping-off (sebagaimana yang telah diatur dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang).

Dalam tahapan kegiatan pemantauan, bank berkewajiban untuk melakukan CDD terhadap Existing Customer yang didasarkan pada prinsip-prinsip resiko (Risk Based Approach). Hal tersebut perlu dilakukan apabila terdapat peningkatan nilai transaksi yang signifikan atau terdapat perubahan profil nasabah yang bersifat signifikan serta ditemukannya dokumen Existing Customer yang tidak lengkap atau menggunakan rekening dengan nama fiktif.

 

 2. Konsekwensi jika nasabah tidak memberikan informasi yang benar pada saat membuka rekening?

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf b PBI Nomor 11/28/PBI/2009, apabila calon nasabah/WIC tidak memberikan informasi yang benar pada saat membuka rekening maka Bank wajib menolak hubungan usaha atau melaksanakan transaksi dengan calon Nasabah/WIC.

Berdasarkan aturan dalam Pasal 50 ayat (3) PBI Nomor 11/28/PBI/2009 Jo. Pasal 52 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan Pasal 58 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, suatu bank dapat dikenakan sanksi berupa:

1)      teguran tertulis;

2)      penurunan tingkat kesehatan Bank;

3)      pembekuan kegiatan usaha tertentu;

4)      pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku;

5)      pemberhentian pengurus Bank.

Apabila Bank tersebut tidak melakukan penolakan terhadap calon nasabah/WIC yang diketahui telah memberikan informasi yang tidak benar dan tetap melaksanakan hubungan usaha dengan calon Nasabah/WIC.

 

3. Peranan bank dalam mencegah serta memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme?

Dalam rangka mencegah serta memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme, bank sangat berperan sekali (memiliki peranan yang sangat penting). Agar upaya pencegahan dan pemberantasan tersebut mampu terlaksana dengan baik, maka dibutuhkan upaya maksimal dari bank untuk menjalankan program APU dan PPT serta melakukan CDD atau pun EDD terhadap calon Nasabah/Nasabah/WIC dan Beneficial Owner dengan berpedoman pada PBI No. 11/28/PBI/2009. Apabila ditemukan suatu tindakan yang mengarah kepada pencucian uang atau pun pendanaan terorisme, maka bank diwajibkan untuk menyusun Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) kepada PPATK.


[1] Walk in Customer atau WIC merupakan pengguna jasa Bank yang tidak memiliki rekening pada Bank tersebut, serta tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau pun penugasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah tersebut. Lihat Pasal 1 butir 5 PBI Nomor 11/28/PBI/2009.

[2] Politically Exposed Person merupakan orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik. Orang tersebut antara lain adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelenggara Negara, dan atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing. Lihat Pasal 1 butir 15 PBI Nomor 11/28/PBI/2009.

[3] Enhanced Due Dilligence merupakan bentuk tindakan CDD yang lebih mendalam dan dilakukan oleh Bank pada saat berhubungan dengan nasabah yang tergolong beresiko tinggi termasuk Politically Exposed Person terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Lihat Pasal 1 butir 8 PBI Nomor 11/28/PBI/2009.

[4] Berdasarkan Pasal 1 butir 12 PBI Nomor 11/28/PBI/2009, Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan / atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian.

OJK ? (Telat untuk di-publish)

– Isu Hukum Masalah Perbankan:

            Siapakah yang lebih tepat dalam melakukan pengawasan dan pengaturan dalam sektor perbankan dengan adanya rencana pembentukan Otorisasi Jasa Keuangan sesuai dengan amandemen dari Pasal 34 UU BI?

 

– Analisa:

Tiga pilar utama yang merupakan bidang tugas utama dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral atau pun regulator perbankan di Indonesia, adalah:

  1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
  2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam hal ini Bank Indonesia bertugas yaitu mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia dengan mencetak uang, mengedarkan serta mengatur jumlah uang beredar.
  3. Mengembangkan sistem perbankan dan sistem perkreditan yang sehat dengan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perbankan. Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia.

Dalam hal pengawasan dan pengaturan perbankan, Bank Indonesia memiliki wewenang antara lain yang meliputi kegiatan sebagai berikut:

  1. Kewenangan memberikan izin (right to license);
  2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate);
  3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control;.
  4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction).

Dan secara teori, dalam hal pengawasan perbankan itu dilakukan oleh 3 elemen, yaitu Internal Bank (dalam hal ini dilakukan oleh Direktur Kepatuhan), Regulator (berisikan regulasi, audit, izin dan sanksi), dan Transparansi (Market Disiplin). Tiap-tiap elemen tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Pada intinya masalah Pengawasan terhadap kegiatan usaha perbankan di Indonesia telah dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini didasarkan pada Pasal 29 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa ”Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia”.

Berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan itu Bank Indonesia mempunyai tugas yang didasarkan pada pasal 8 UU No. 3 Tahun 2004 perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang pada intinya menyatakan bahwa:

“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:

a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,

b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,

c) mengatur dan mengawasi bank”

 

Maka pada prinsipnya suatu pengaturan (penyatuan) sistem tata perbankan bagi sebuah negara dilakukan oleh bank sentral di Indonesia, dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang berkaitan dengan melakukan pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision) pada system perbankan di Indonesia.

Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas pembinaan dan pengawasan bank dibekali dengan kewenangan yang berkaitan dengan perizinan, mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang memberi landasan kerja yang sehat bagi bank serta mengawasi dan memberikan pembinaan kepada bank dalam menjalankan segala usaha bank tersebut dengan tujuan mendorong terwujudnya sistem perbankan yang sehat.[1]

Kegiatan pengawasan bank tersebut merupakan monetary supervision, maksudnyauntuk memonitor dan mengetahui lembaga keuangan bank dalam hal ini mematuhi ketentuan aturan yang ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dan menjalankan usaha perbankannya.

Pada hakikatnya tujuan umum dari pengaturan dan pengawasan bank adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat. Dalam hal ini sistem perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan (baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia).[2]

Adanya ketentuan dalam Pasal 34 UU Bank Indonesia sehingga mengakibatkan timbulnya polemik dalam hal pengawasan dan pengaturan bank. Ketentuan dalam Pasal 34 UU Bank Indonesia secara tegas menyatakan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010.[3]

Lembaga yang dimaksudkan adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga dalam pengaturan dan pengawasan perbankan beralih menjadi kewenangan OJK. Namun, tidak semua pengaturan perbankan menjadi kewenangan OJK. Pembentukan OJK diharapkan dapat meminimalisir terjadinya kasus yang melibatkan tiga otoritas jasa keuangan, yakni antara lain sektor perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan dalam satu institusi. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam hal kasus Century karena dengan adanya penyatuan tiga otoritas jasa keuangan dalam satu intitusi, diharapkan ada kejelasan dalam hal kewenangan pengambilan keputusan jika suatu saat terjadi krisis keuangan lagi. Selain itu, pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari BI diharapkan dapat membuat BI lebih fokus dalam mengendalikan kondisi moneter di Indonesia.

Penulis berpendapat dalam hal pembentukan suatu OJK nantinya, apabila yang mengawasi adalah orang yang tak mengerti masalah perbankan maka dalam hal pelaksanaan pengawasannya akan menjadi tidak mudah. Agar sebaiknya dalam hal pengawasan tetap di lakukan oleh Bank Indonesia. Bagaimanapun bentuk dari OJK nantinya, hendaknya mampu melakukan pengawasan dalam sektor keuangan secara komprehensif dan terkoordinasi sempurna.

Pembentukan OJK juga tidak menjamin adanya pengawasan yang lebih berkualitas. Sebab, bagaimanapun sistem yang digunakan, jika dalam melaksanakan pengawasan perbankan tidak optimal, maka akan selalu ada celah bagi kecurangan/penyalahgunaan. Dengan adanya pembentukan Otoritas Jasa Keuangan terpisah dari Bank Indonesia dan juga pemerintah. Maka, baik pemerintah maupun BI mesti dengan rela melepas sebagian kewenangannya. BI harus melepaskan pengawasannya terhadap perbankan, sedangkan Depkeu harus melepaskan pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), sehingga OJK yang didirikan akan berdiri independen.

Alasan-alasan pemisahan pengawasan bank dari BI dan menggabungkannya ke dalam OJK, antara lain untuk menghindari konflik kepentingan antara kebijakan moneter dan kebijakan pengawasan konglomerasi sektor jasa keuangan di Indonesia di masa depan, dalam hal ini terdapatnya suatu integrasi produk perbankan dan sektor jasa keuangan non bank maupun tindakan yang disebut sebagai regulatory arbitrage.[4]

OJK akan lahir dengan argumentasi untuk memenuhi keinginan kuat adanya otoritas jasa keuangan yang mandiri dan independen. Namun, penulis berpendapat bahwa suatu pemberian kewenangan pengawasan perbankan itu lebih baik tetap dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Karena, sesuai dengan Pjs Gubernur BI yang menegaskan pentingnya bank sentral memiliki kewenangan untuk setiap saat mengetahui kondisi riil perbankan. BI berpandangan bahwa tidak tepat apabila implementasi Pasal 34 UU No.3/2004 direspons hanya dengan pendekatan pragmatis tanpa mengacu pada konsepsi terciptanya stabilitas sistem keuangan.

Apabila ketentuan Pasal 34 UU No.3/2004 tetap akan diimplementasikan, maka secara paralel perlu pula proses amandemen terhadap UU BI dengan menempatkan fungsi pengawasan bank sebagai bagian yang otonom di dalam BI. Jika hal itu dilakukan, maka akan tercipta check and balance tanpa mengurangi efektivitas pelaksanaan tugas BI.


[1] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 163.

[2] Ibid., hlm. 163-164.

[3] Mengenai pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan di Indonesia (dikenal dengan nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK)), saat ini rancangan undang-undangnya sedang dibahas di DPR, namun berdasarkan berita yang ada kemungkinan realisasi dari OJK tidaklah pada tanggal 31 Desember 2010 karena adanya perdebatan yang panjang antara Bank Indonesia, Pemerintah (Kementerian Keuangan), DPR, dan perbankan.

LEGAL OPINION : LICENSE FOR EXPLORATED AND EXPLOITED OIL AND GAS IN INDONESIA

 

A. ISU HUKUM

1. Dapatkah suatu pihak asing atau perusahaan asing masuk ke Indonesia dengan membuat kantor perwakilan yang bergerak dalam bidang Oil and Gas dan bagaimana masalah pajaknya?
2. Dapatkah pihak tersebut mendapatkan kontrak kerja sama di Indonesia dalam hal eksplorasi serta eksploitasi Oil and Gas di Indonesia?
3. Bagaimana prosedur perizinan di Indonesia khususnya dalam hal pendirian Bentuk Usaha Tetap dan prosedur perizinan Kontrak Kerja Sama?

B. RULES

Adapun aturan hukum terkait dengan isu hukum yang dimaksudkan diatas, antara lain:
1. UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
2. PP No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Jo PP No. 34 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Jo PP No. 55 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
3. PP No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
4. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 35 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi
5. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 2761K/13/MEM/2008 Tahun 2008 tentang penetapan Wilayah kerja Minyak dan Gas Bumi, Bentuk Kontrak Kerja Sama dan Ketentuan Pokok kontrak Kerja Sama (Term and Condition) serta mekanisme Penawaran Wilayah Kerja Dalam Penawaran Wilayah kerja Minyak Dan Gas Bumi Periode II Tahun 2008

 

C. ANALISA

Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, ditegaskan bahwa Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Sebagai sumber daya alam strategis, Minyak dan Gas Bumi merupakan kekayaan nasional yang menduduki peranan penting sebagai sumber pembiayaan, sumber energi dan bahan bakar bagi pembangunan ekonomi negara.
Mengingat bahwa Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam yang takterbarukan, maka pengusahaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi harus dilakukan seoptimal mungkin dan kebijakan pengaturannya berpedoman pada jiwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam pengusahaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi bertujuan antara lain untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi melalui mekanisme yang terbuka dan transparan. Bertitik tolak dari landasan perlunya dasar hukum dalam pengusahaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, maka diperlukan pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah serta peraturan pelaksana lainnya. Aturan hukum tersebut ini mengatur mengenai Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang antara lain meliputi pengaturan mengenai penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu termasuk pembinaan dan pengawasannya, mekanisme pemberian Wilayah Kerja, Survey Umum, Data, Kontrak Kerja Sama, pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri, penerimaan negara, penyediaan dan pemanfaatan lahan, pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat, pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri, serta penggunaan tenaga kerja dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Melihat dari hal tersebut, maka untuk menjawab isu hukum yang dimaksudkan adalah:
1. Suatu pihak asing atau pun perusahaan asing dapat membuat kantor perwakilan di Indonesia dalam hal pertambangan minyak dan gas dengan BENTUK USAHA TETAP. Merujuk pada Pasal 1 butir 18 UU No. 22 Tahun 2001, suatu BENTUK USAHA TETAP adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
Cara pendirian Bentuk Usaha Tetap hanya perlu dengan akta penegasan dari Notaris. Maksud penegasannya adalah dengan mencantumkan klausul “BADAN USAHA YANG BERBENTUK USAHA TETAP” di dalam akta tersebut. Dengan adanya klausul tersebut maka, secara valid Bentuk Usaha Tetap telah tunduk pada segala peraturan hukum di Indonesia sekalipun Bentuk Usaha Tetap tersebut merupakan Badan Hukum Asing.
Syarat-syarat BUT mencakup:
1) adanya tempat usaha
2) sifat usaha permanent (Certain degree of permanent).
3) adanya sifat ketergantungan (dependence) dengan Kantor Pusat.
Melihat isu hukum yang terkait maka Bentuk Usaha Tetap ini termasuk dalam kategori BUT fasilitas (Asset), karena berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber daya alam, pengeboran migas, perikanan, perkebunan dan kehutanan
Pada intinya Bentuk Usaha Tetap dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan atau berkedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa, yaitu tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan, Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
Penjelasan pasal 3 ayat (5) undang-undang No.17 tahun 2000 tentang PPh, menyatakan suatu BUT mengandung pengertian:
a. Suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
b. Tempat usaha tersebut bersifat permanent dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan idak bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang berindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
d. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempuanyai BUT apabila orang pribadi/badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
e. Perusahaan asing yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai BUT di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asurransi di Indonesiaatau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai.
Menanggung resiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia, yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
2. Menurut ketentuan aturan perundang-undangan serta aturan pelaksananya khususnya mengenai Oil and gas, maka perusahaan asing dapat mendapatkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi di Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada BP MIGAS. Namun, Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu.
Kegiatan usaha hulu tersebut dikendalikan melalui kontrak kerja sama. Dan paling sedikit memuat persyaratan mengenai:
1) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan.
2) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana (BP MIGAS).
3) Modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
Kegiatan Usaha dilaksanakan oleh Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan BP MIGAS. Kontrak Kerja Sama wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu:
a. penerimaan Negara;
b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
c. kewajiban pengeluaran dana;
d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f. penyelesaian perselisihan;
g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
h. berakhirnya kontrak;
i. kewajiban pasca operasi pertambangan;
j. keselamatan dan kesehatan kerja;
k. pengelolaan lingkungan hidup;
l. pengalihan hak dan kewajiban;
m. pelaporan yang diperlukan;
n. rencana pengembangan lapangan;
o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adapt;
q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

Kontrak Kerja Sama dibuat dalam bahasa Indonesia atau pun dalam bahasa Inggris. Dan jangka waktu kontrak kerja sama di Indonesia adalah paling lama 30 tahun, yang terdiri atas jangka waktu eksplorasi dan eksploitasi. Apabila dalam jangka waktu Eksplorasi Kontraktor tidak menemukan cadangan Minyak dan/atau Gas Bumi yang dapat diproduksikan secara komersial maka Kontraktor wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya.
Di dalam Pasal 38 PP No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan bahwa kontrak kerja sama tunduk dan berlaku hukum Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap wajib ikut memenuhi kebutuhan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dalam negeri. Bentuk Kewajibannya adalah dengan menyerahkan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Bentuk Usaha Tetap (kontraktor).

3. Prosedur perizinan dalam hal pendirian Bentuk Usaha Tetap dan Kontrak Kerja Sama, yaitu:
a. Prosedur Perizinan Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Prosedur pendiriannya adalah cukup hanya perlu dengan akta penegasan dari Notaris. Maksud penegasan tersebut adalah dengan mencantumkan klausul “BADAN USAHA YANG BERBENTUK USAHA TETAP” di dalam akta tersebut. Dengan adanya klausul tersebut maka, secara valid Bentuk Usaha Tetap telah tunduk pada segala peraturan hukum di Indonesia sekalipun Bentuk Usaha Tetap tersebut merupakan Badan Hukum Asing. Dalam pendiriannya Bentuk Usaha tetap memerlukan beberapa syarat terkait, antara lain:
1) adanya tempat usaha
2) sifat usaha permanent (Certain degree of permanent).
3) adanya sifat ketergantungan (dependence) dengan Kantor Pusat.
Melihat isu hukum yang terkait maka Bentuk Usaha Tetap ini termasuk dalam kategori BUT fasilitas (Asset), karena berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber daya alam, pengeboran migas, perikanan, perkebunan dan kehutanan
Pada intinya Bentuk Usaha Tetap dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

b. Prosedur Perizinan Kontrak Kerja Sama
Kontrak Kerja Sama merupakan Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun prosedur perizinannya adalah sebagai berikut:
1) Diperlukannya akta penegasan yang dikeluarkan oleh notaris, memuat klausul “BENTUK USAHA TETAP” di dalam akta tersebut.
2) Setelah adanya akta penegasan yang dikeluarkan oleh notaris, maka diajukan izin usaha untuk melakukan pertambangan dalam hal ini eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri Sumber Daya dan Mineral. Menteri Sumber Daya dan Mineral harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah Daerah setempat (Gubernur) sebelum melakukan penetapan atas Bentuk Usaha Tetap. Penetapan tersebut mencakup penawaran wilayah kerja dan dilakukan oleh Menteri.
3) Setelah adanya penetapan dari Menteri, maka Kontraktor (BUT) mengajukan aplikasi work program ke BP MIGAS selaku Badan Pelaksana. Setelah aplikasi Work Program di approve, oleh BP MIGAS selanjutnya kontraktor mengajukan Plan of Development kepada BP MIGAS.
4) Sebelum menyetujui atau pun menyatakan bahwa work program dan plan of development BP MIGAS berhak mengaudit ulang segala macam aspek terkait atau pun aplikasi yang diajukan oleh kontraktor dan melakukan survey umum terhadap wilayah kerja.
5) Setelah dilakukan audit terhadap aplikasi yang telah diajukan, dan apabila BP MIGAS menyetujuinya maka Kontrak Kerja Sama pun dikeluarkan oleh BP MIGAS. Kontrak Kerja Sama tersebut paling tidak berisikan:
a) penerimaan Negara;
b) Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
c) kewajiban pengeluaran dana;
d) perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
e) jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f) penyelesaian perselisihan;
g) kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
h) berakhirnya kontrak;
i) kewajiban pasca operasi pertambangan;
j) keselamatan dan kesehatan kerja;
k) pengelolaan lingkungan hidup;
l) pengalihan hak dan kewajiban;
m) pelaporan yang diperlukan;
n) rencana pengembangan lapangan;
o) pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p) pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q) pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
6) Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
7) Dan tahapan terakhir adalah pelaksanaan eksplorasi serta eksploitasi dari wilayah kerja yang sudah ditetapkan dalam kontrak kerja sama.

D. CONCLUSION

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari analisa mengenai isu hukum tersebut antara lain:
1. Pihak asing atau pun perusahaan asing dapat membuat kantor perwakilan di Indonesia dalam hal pertambangan minyak dan gas dengan BENTUK USAHA TETAP.
2. Ketentuan aturan perundang-undangan serta aturan pelaksananya khususnya mengenai Oil and gas, menyatakan bahwa perusahaan asing bisa mendapatkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi di Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada BP MIGAS. Namun, Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu saja.
3. a. Prosedur pendiriannya adalah cukup hanya perlu dengan akta penegasan dari Notaris. Maksud penegasan tersebut adalah dengan mencantumkan klausul “BADAN USAHA YANG BERBENTUK USAHA TETAP” di dalam akta tersebut. Dengan adanya klausul tersebut maka, secara valid Bentuk Usaha Tetap telah tunduk pada segala peraturan hukum di Indonesia sekalipun Bentuk Usaha Tetap tersebut merupakan Badan Hukum Asing.
b. Akta penegasan yang dikeluarkan oleh notaris, memuat klausul “BENTUK USAHA TETAP”, penetapan dari Menteri Sumber Daya Alam untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, BP MIGAS menyetujui berbagai aplikasi sebagai pemenuhan agar Kontrak Kerja Sama yang telah diajukan oleh kontraktor, kontrak kerja sama yang telah ditanda tangani harus diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan tahapan terakhir setelah adanya pemberitahuan kepada DPR maka kontraktor (Bentuk Usaha Tetap) dapat melakukan eksplorasi serta eksploitasi.

 

 

 

 

 

Pendapat Mengenai Peraturan Bapepam Dalam Hal Transaksi Benturan Kepentingan Oleh Direktur Yang Perusahaannya Go Public

Pasal 82 ayat (2) UUPM menyatakan bahwa “Bapepam dapat mewajibkan emiten atau perusahaan publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen untuk secara sah dapet melakukan transaksi benturan kepentingan, yaitu kepentingan-kepentingan ekonomis emiten atau perusahaan public dengan kepentingan ekonomis pribadi direksi atau komisaris atau juga pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik”. Maka dari itu Bapepam melalui Peraturan Nomor IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu menyatakan bahwa “Jika suatu transaksi dimana seorang komisaris, direktur atau pemegang saham utama mempunyai benturan kepentingan, maka transaksi yang dimaksud harus disetujui oleh para pemegang saham independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu sebagai diatur dalam peraturan ini. Persetujuan mengenai hal tersebut harus ditegaskan dalam bentuk akta notariil.” Secara prinsip peraturan tersebut bertujuan:

1. melindungi kepentingan pemegang saham independen yang umumnya merupakan pemegang saham minoritas dari perbuatan yang melampaui kewenangan direksi dan komisaris serta pemegang saham utama dalam melakukan transaksi benturan kepentingan tertentu (Pasal 82 ayat (2) jo. Peraturan Nomor IX.E.1).

2. mengurangi kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh direksi, komisaris atau pemegang saham utama untuk melakukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan tertentu (Pasal 82 ayat (2) jo. Peraturan Nomor IX.E.1).

3. melaksanakan prinsip keterbukaan dan penghormatan terhadap hak pemegang saham berdasarkan asas kesetaraan, persetujuan pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50% saham yang ada merupakan keharusan (Pasal 86 ayat (1) UUPM).

Pengaturan tersebut membatasi pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang berkuasa seperti pemegang saham mayoritas, direksi dan komisaris perseroan untuk bersepakat mengenai transaksi tertentu yang memberikan keuntungan kepada pihak-pihak tersebut dengan mengabaikan hak dan kepentingan pemegang saham minoritas. Pada dasarnya direksi atau organ perusahaan lainnya tidak diperbolehkan mengambil kesempatan untuk memperoleh keuntungan untuk dirinya sendiri, jika sebenarnya dapat diberikan kepada perseroan.

Pada dasarnya pelanggaran ketentuan benturan kepentingan transaksi tertentu pada direksi adalah tindakan direksi yang melampaui kekuasaan yang dimilikinya. Direksi yang menyetujui pelaksanaan transaksi yang mengandung benturan kepentingan tanpa mendapat persetujuan pemegang saham melalui RUPS adalah tindakan yang melanggar hukum. Sedangkan jika seorang anggota direksi, anggota komisaris atau pemegang saham yang mempengaruhi tindakan perseroan untuk melakukan transaksi benturan kepentingan tanpa ada persetujuan RUPS adalah tindakan yang melampaui kewenangan.

Pemberlakuan peraturan ini sejalan dengan adanya prinsip good corporate governance, yaitu menghormati hak pemegang saham, memberikan perlakuan sama diantara pemegang saham, dan melindungi kepentingan pemegang saham. Selain itu sejalan dengan prinsip Keterbukaan atau Transparansi, karena Bapepam tidak mengkategorikan tindakan melakukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan sebagai suatupelanggaran sepanjang mendapat persetujuan dari pemegang saham sesuai dengan prosedur yang dimuat dalam ketentuan mengenai itu.Image

Penerapan Prinsip Keterbukaan Pada Perusahaan Go Public

 

 

 

 

 

 

 

Penerapan prinsip keterbukaan dalam pasar modal berarti keharusan emiten, perusahaan publik dan pihak lain yang tunduk kepada UUPM untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap efek yang dimaksud atau harga dari efek tersebut (Pasal 1 butir 25 UUPM).

Emiten wajib menyampaikan informasi secara lengkap dan akurat. Dikatakan lengkap apabila informasi yang disampaikan itu utuh, tidak ada yang tertinggal atau disembunyi-sembunyikan, disamarkan atau tidak menyampaikan apa-apa atas fakta material. Dikatakan akurat jika informasi yang disampaikan mengandung kebenaran dan ketepatan. Apabila tidak memenuhi unsur tersebut maka informasi dikatakan sebagai informasi yang tidak benar (Pasal 80 ayat 1 UUPM). Pada pasal 80 ayat (1) UUPM menyebutkan pihak-pihak yang bisa dimintakan pertanggungjawaban sebagai liable person atas Pernyataan Pendaftaran adalah:

(1) pihak yang menandatangani Pernyataan Pendaftaran.

(2) direktur atau komisaris emiten pada waktu Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif.

(3) Penjamin Pelaksana Emisi Efek.

(4 )Prosesi Penunjang Pasar Modal atau pihak lain yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran.

Transparansi merupakan bentuk perlindungan kepada masyarakat investor. Pemberlakuan UUPM akan menjadi indikator dan landasan hukum yang diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum kepada investor dalam hal untuk mendapatkan informasi yang lengkap, akurat dan benar sehingga calon investor mampu mengambil keputusan karena didukung oleh informasi yang kuat.

Pada dasarnya pelaksanaan keterbukaan di pasar modal dilakukan melalui 3 tahap, yaitu:

a. keterbukaan pada saat melakukan penawaran umum (primary market level), yang didahului dengan pengajuan Pernyataan Pendaftaran Emisi ke Bapepam dengan menyertakan semua dokumen penting yang dipersyaratkan dalam Peraturan Nomor IX.C1. tentang Pedoman Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran antara lain: Prospektus, Laporan Keuangan yang telah diaudit akuntan, Perjanjian Emisi, Legal Opinion dan sebagainya.

b. keterbukaan setelah emiten mencatat dan memperdagangkan efeknya di bursa (secondary market level). Dalam hal ini emiten wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala dan terus-menerus (continously disclosure) kepada Bapepam dan bursa, termasuk laporan keuangan berkala yang diatur dalam Peraturan Nomor X.K.2.

c. keterbukaan karena terjadi peristiwa penting dan laporannya harus disampaikan secara tepat waktu (timely disclosure), yakni peristiwa yang dirinci dalam Peraturan Nomor X.K.1.

Prinsip full disclosure merupakan kewajiban emiten, perusahaan publik atau siapa saja yang terkait untuk mengungkapkan informasi sejelas, seakurat dan selengkap mungkin mengenai fakta material yang berkaitan dengan tindakan perusahaan atau efeknya yang berpotensi kuat mempengaruhi keputusan pemegang saham atau calon investor terhadap saham.

Peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal cukup memadai di dalam melindungi kepentingan investor, sepanjang penegakan hukum dapat menjadi indikator berfungsinya hukum dalam arti yuridis. Pasal 82 ayat (2) jo. Peraturan IX.E.1 UUPM, Pasal 35 UUPM secara tegas menetapkan bahwa perusahaan efek atau penasihat investasi dilarang untuk mengemukakan secara tidak benar atau tidak mengungkapkan fakta material kepada nasabah mengenai kemampuan usaha atau keadaan keuangannya. Pasal 75 ayat (1) UUPM menyebutkan bahwa Bapepam wajib mempertahankan kelengkapan, kecukupan, objektivitas, kemudahan untuk dimengerti dan kejelasan dokumen pernyataan pendaftaran memenuhi prinsip keterbukaan.

Sedangkan peraturan Bapepam yang mendukung penerapan prinsip keterbukaan (keterbukaan merupakan prinsip good corporate governance) antara lain tercantum dalam:

(1)Peraturan No. VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan yang menyatakan prinsip ketepatan waktu dan akurasi termaktub.

(2)Peraturan No. X.K.2 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Berkala.

(3)Peraturan No. X.K.5 tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan-Perusahaan yang Dimohonkan Pailit.

(4)Peraturan No. IX.H.1 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka yang meyatakan keharusan menyampaikan informasi kepada otoritas pasar modal, bursa dan publik yang berkaitan dengan proses pengambilalihan oleh pihak pengambil alih.

(5)Peraturan No. IX.F.1 tentang Penawaran tender yang menyatakan kewajiban pihak penawar untuk menyampaikan informasi kepada otoritas pasar modal, bursa dan publik sehubungan dengan upaya pembelian saham perusahaan terbuka.

(6)Peraturan No. X.K.4 tentang Laporan Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran Umum yang mewajibkan untuk menyampaikan penggunaan dana yang diperoleh dari penawaran umum kepada publik.

(7)Peraturan No. IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu yang mengharuskan untuk melakukan transaksi secara jujur, benar dan demi kepentingan semua pemegang saham dan larangan melakukan transaksi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.

(8)Peraturan No. X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan kepada Publik yang meyatakan prinsip kecepatan penyampaian informasi atau fakta material atau peristiwa yang mungkin berpengaruh terhadap harga efek kepada publik.

(9)Peraturan No. IX.I.1 tentang Rencana dan Pelaksana Rapat umum Pemegang Saham yang menyatakan prinsip keseragaman informasi untuk rencana RUPS.

(10)Peraturan Bapepam No. IX.C.3 tentang pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMTED) yang menyatakan prinsip keseragaman informasi untuk rencana RUPS.

Tujuan dari peraturan-peraturan tersebut adalah untuk menciptakan suatu pasar modal yang efisien dan efektif. Peraturan-peraturan tersebut wajib dipatuhi oleh setiap perusahaan yang telah go public.

 

 

 

 

 

 

 

One Step Closer

Time stands still and beauty in all she is. I will be brave and I will not let anything what’s standing in front of me is gone.
Every breath, every hour has come to this one step closer. And I believed, that I would find you, because time has brought your heart to me.